Perjuangan para Nabi ialah untuk menegakkan kemanusiaan dengan berdirinya keadilan, kebebasan, kemerdekaan, selain tentunya seruan tunduk beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Betapa lagi pada Riwayat Nabi Besar kita, Muhammad, SAW. Sosok Baginda, sebelum diangkat menjadi Nabi, digelar Al Amin, yakni peribadi yang terpercaya dan beramanah.
Nabi Muhammad, dari seawal hayatnya, berdiri berpihak kepada orang yang terlantar, para hamba abdi, juga janda dan anak-anak yatim dan fakir miskin.
Paling jelas dalam tradisi keagamaan kitam sosok watak Nabi bukan beralim-aliman yang hanya beribadat sepanjang waktu seperti rahib atau pertapa. Nabi turun padang, bekerja dan selalu di pusaran kehidupan masyarakat.
Perjuangan para Nabi jauh dari menampakkan sifat kependetaan, jauh lagi sifat kemulukan memerintah bagaikan penguasa yang berdiri dengan modal “the will to power” di atas tahta kekuasaan.
Ali Shariati (1933-1977), seorang pemikir Iran yang tersohor mengingatkan perjuangan dan misi kenabian Nabi Muhammad. Baginda “sendiri bukan lahir bukan golongan pemodal (mala) atau penguasa (mutraf), tetapi dari kalangan pengembala jelata, kelas kaum tertindas (mustad’afin).”
Di kalangan umat Islam, banyak anjuran untuk meneladani generasi salaf yang terawal, kerana generasi salaf itu dianggap sebagai terpuji dan paling dekat dengan ajaran Nabi.

Justeru, ternyata banyak seruan agar mengikut Nabi darihal amalan dan akhlak baginda. Tentulah ini wajar dipuji, kerana Nabi sendiri disebut sebagai akhlak karimah.
Makanya, di satu sisi mengajurkan teladan kepada Nabi yakni anjuran Sunnah Nabi. Di satu sisi yang lain mengambil teladan dan ikhtibar dari kerja mulia nabi yang menyantuni yang miskin, terlantar dan tersisih.
Seruan Pulang ke Jalan Islam
Di era kebangkitan Islam semenjak lewat 1970an, berkumandang seruan seruan supaya pulang ke Islam. Inilah gendangan yang disebut gerakan dakwah.
Namun, Shariati dalam memerhatikan seruan-seruan yang berkumandang itu, cenderung mahu membezakan apakah inti utama yang diserukan itu.
Shariati mengajak kita merenungkan seruan seperti berikut:
“Adalah tidak cukup dengan menyatakan kita harus kembali ke Islam. Kita harus menspesifikasi Islam mana kita maksudkan; Islam Abu Zar atau Islam Marwan b. Affan, sang penguasa. Keduanya disebut Islam, walaupun sebenarnya terdapat perbedaan diantara keduanya. Satunya adalah Islam kekhalifahan, istana, dan penguasa. Sedangkan lainnya adalah Islam merakyat, mereka yang dieksploitasi dan miskin.”
Ertinya yang kurang mendapat perhatian adalah kerja kemanusiaan Nabi yang bangun membasmi kerosakan, meringankan kesengsaraan manusia, dan mencari jalan agar manusia keluar dari kekerasan dan pengabdian.
Setiap manusia itu bermartabat, punya hak dan tanggungjawab, dilepaskan dari apa jua belenggu, dan dijamin menjalankan hidup dengan sempurna.
Melawan Penindasan
Inilah sisi penegasan Shariati tentang pembebasan. Yang dipertekankan kebebasan bukanlah dengan pengertian hak untuk hidup secara liberal, (yang sering difahami di kalangan kita) yang terlepas dari norma agama dan kolektif kultural,
Yang dimaksudkan kebebasan itu adalah nilai dan hak yang mengarah kemerdekaan manusia dari segala bentuk ketidakadilan, kebelengguan autoritarianisme, kekejaman, kekerasan, penindasan, keterpinggiran dan penafian hak kemanusiaan serta apa jua bentuk dehumanisasi.
Ditegaskan Shariati, bahawa pesan agama mengarah kepada “perjuangan melawan kekuasaan tirani. Ia tidak akan pernah berniat (sepakat) dengan kekejaman.”
Beliau sendiri memerikan rencaman penindasan yang berlangsungan dalam dunia kita hari ini, yakni:
“Pernyataan “ketertindasan” (istid’af) meliputi tirani politik, eksploitasi ekonomi dan penindasan intelektual. Suatu kelas ditekan oleh kekuatan, dan ini adalah penindasan dan keburukan politik. Suatu kelas dirampok kekayaannya dan dihisap. Ini adalah ketertindasan ekonomi. Kelompok lainnya yang memiliki kecerdasan dan pemikiran yang di paksa menjadi bodoh dan jahil. Ini adalah ketertindasan intelektual. Harus ditambahkan bahwa penindasan intelektual adalah dasar dari penindasan politik dan ekonomi.”
Shariati telah mengangkat seorang tokoh Islam, seorang sahabat Nabi, yang sememangpun terkesamping dalam ingatan sejarah, yakni Abu Dzar.
Eko Supriyadi, dalam bukunya Sosialisme Islam Pemikiran Ali Syari’ati, meringkaskan bahawa Shariati
“menciptakan figur dalam simbol kaum tertindas, pahlawan yang tegar menghadapi kekayaan, kekuasaan dan bahkan otoritas keagamaan. Satu orang miskin menghadapi imperium yang kuat. Abu Dzaradalah kreasi simbolis Shariati sebagai seorang muslim yang tegar, revolusioner yang mengkhutbahkan persamaan, persaudaraan, keadilan, dan pembebasan.”
Sayang sekali hari ini, idea “pembebasan” itu sendiri digeruni, sering disinonimkan sebagai cara fikir liberal yang mahu melepaskan segala ikatan dan dogma dan norma agama dan budaya, ataupun terpengaruh dengan revolusioner Marxis, ataupun niat jahat mahu menumbangkan pemerintah dengan cara kekerasan.
Maka tidak hairanlah kekata ini jarang mendapat perhatian dalam wacana sosia, politik dan keagamaan kerana takut ia akan menggongcang status quo yang ada.
Namun pengajuan tentang pembebasan yang dibuat oleh Shariati jelas bersumber dari bacaan teologis yang tercerah, bertolak dari kepedulian membebaskan manusia dari pemberhalaan kepada kekuasaan, dan mengarah kepada kesempurnaan kebajikan umat dan kemanusiaan sejagat.
Jelasnya, ada pedoman untuk melawan segala bentuk penindasan yang membelenggu adalah kewajaran dan tuntutan dalam kehidupan beragama.
Sayangnya kita yang selama ditindas dan dihisap sepanjang sejarah — tidak pula memikirkan kekuatan kita untuk menyanggah kerosakan, kekejaman dan kekerasan.
Shariati sebagai seorang intelektual banyak berbekalkan sumber dari tradisi Islam yang emansipatoris. Beliau kritis dan kreatif memadukan gagasan dan nilai dari Islam dengan bingkai pemikiran yang berasal dari Barat, asalkan ia selari dengan ajaran dan matlamat Islam.
Gagasan intelektual dan keagamaan Shariati merangkumi banyak aspek, baik ia mengarah kepada pembaharuan mahupun pembebasan.
Yang terakhir ini yang jarang mahu disentuh di kalangan ilmuan dan pemikir Muslim kerana idea pembebasan itu sendiri sering disertikan dengan gaya kehidupan yang liberak, terlepas dari norma agama dan adat.
Ali Shariati seorang intelektual yang berdepan dengan penguasaan dan aliran pemikiran dominan, mengingatkan peri penting wujudnya keberanian intelektual yang denyut geraknya adalah kesadaran moral-etika yang sejagat:
“Jelas bahwa untuk mengenal Islam kita tidak dapat memilih satu pendekatan saja, karena Islam bukanlah agama berdimensi satu. Islam bukanlah agama yang didasarkan semata-mata pada perasaan-perasan mistis manusia,atau hanya terbatas kepada hubungan antara Tuhan dan manusia. Ini hanya satu dimensi dari akidah Islam. Untuk mengenal dimensi tertentu ini kita harus beralih kepada metode filsafat, karena hubungan antara manusia dan Tuhan merupakan bagian dari bidang pemikiran ini. Dimensi lain dari agama ini berhubungan dengan cara hidup seseorang dimuka bumi. Untuk mengenal kebenaran-kebenaran dimensi ini, kita harus menggunakan metode sosiologi dan sejarah masa kini.”
Inilah dua perkara penting, yakni sosiologi dan sejarah, yang sering tertinggal dalam upaya kita membangun rencana pembaharuan kita, walaupun di tempat kita sendiri para pemikir kita seperti S H Alatas dan Abdurrahman Wahid telah menganjur sedemikian.
Mereka yang berpedulian kepada gagasan reformisme, wajar memberi respons kepada tantangan yang menggugat kewujudan, maruah dan harga diri kita. Shariati mengingatkan:
“Tugas kita yang paling mendesak adalah membicarakan apa yang sedang menimpa kita. Membicarakan cara tepat, mempelajarinya secara ilmiah dan mengenalnya. Segala penderitaan orang-orang yang mencoba untuk memperbaiki masyarakat mereka di negeri-negeri Islam, membuktikan kegagalan atau hanya dengan sedikit hasil. Sebab ketika sedang bertindak, mereka tidak mengetahui apa yang perlu dikerjakan. Sudah pasti bahwa bila kita tidak tahu yang kita inginkan, kita tidak akan tahu apa yang harus dikerjakan. Oleh karena itu, tugas pertama kita adalah mengenal agama dan mazhab pemikiran kita, walau sayangnya, setelah berabad-abad berhubungan dengan agama ini, baru kita memulai untuk mengenalnya.”
Sambung beliau:
“Adalah tugas intelektual dewasa ini untuk mengenal Islam, mengenal suatu mazhab yang membangkitkan kemanusiaan, yaitu individu dan masyarakat. Misi Islam adalah untuk mengarahkan masa depan manusia. Para intelektual harus melihat ini sebagai tugas yang tidak dapat disisihkan. Mereka perlu melihat agama ini dengan saksama dan melihat tokoh-tokoh terkemukanya dari bidang studi apa saja. Karna Islam mempunyai banyak dimensi dan manifestasi yang berbeda-beda, siapa saja yang dapat menemukan bidang-bidang baru dan rinci sesuai dengan bidang khusunya.”
Kita semua, yang celik dan diamanah dengan sumber ilham, akal dan ikhtiar, sama ada daya dalam bentuk berfikir dan menulis, harus terpanggil menyahuti seruan kerja profetik.
Shariati sendiri telah menunjukkan sangat baik kerja reformis dan profetik yang matlamatnya adalah:
“membebaskan dan membimbing rakyat, untuk menciptakan cinta dan keyakinan baru, kedinamisan dan memberi kesadaran baru dalam hati dan pikiran rakyat, serta mengingat mereka akan berbagai bahaya yang mungkin muncul akibat unsur kebodohan, ketahayulan, kejahatan, dan kebobrokan dalam masyarakat Islam masakini.”
Intelektualisme Profetik
Perbincangan tentang gagasan profetik sudah terungkap dalam wacana Islam progresif di Indonesia, dan beberapa belahan dunia Islam yang lain.
Intelektualisme profetik bererti perjuangan intelektual dan gerak kerjanya yang memiliki segi-segi dari perjuangan para nabi untuk kepentingan kemanusiaan, dengan terangkum ilmu, amal dan keterpanggilan menyahut seruan kepada kebaikan dan kemuliaan.
Intelektualisme profetik bukan akademisme yang formal, bukan juga laungan yang populis seperti sang demagog, dan bukan pula intelektualisme pujangga yang lari ke sudut yang hening untuk mengeluarkan kata-kata hikmah belaka.
Intelektualisme profetik bergerak atas pengalaman berhadapan dengan kehidupan seharian di tengah-tengah pusaran masyarakat dengan segala getir dan cabaran manusia dan masyarakat.
Kuntowijoyo, seorang ilmuan Indonesia yang dengan tuntas membicarakan sastera profetikyang berjudul (2026)telah mengangkat persoalan etika profetik yang sangat relevan untuk perbincangan kita.
Etika profetik menurut beliau terangkum tiga hal yang merangkumi humanisasi, liberasi, dan transendensi. Rangkuman humanisasi ini menjadi penting kerana dehumanisasi semakin merebak :
«Dehumanisasi adalah objektivasi manusia (teknologi, ekonomis, budaya, massa, negara), agresivitas (kolektif, perorangan, kriminalitas), loneliness (privatisasi, individualisasi), dan spiritual alienation (keterasingan spiritual). Dalam dehumanisasi perilaku manusia lebih dikuasai bawah sadarnya daripada oleh kesadarannya. Tanpa kita sadari dehumanisasi sudah menggerogoti masyarakat Indonesia, yaitu terbentuknya manusia mesin, manusia dan masyarakat massa, dan budaya massa.
Abdul Munir Mulkhan seorang ilmuan Muslim Indonesia menegaskan bahawa “adalah tugas intelektual muda Muslim bagi pengembangan lebih lanjut proyek besar epismetologi profetisme sebagai basis gerakan sosial, budaya, dan politik santri.”
Tambah beliau:
“Profetisme ialah komitmen intelektual Muslim sebagai pewaris nabi tentang orietansi ekselen dalam setiap kerja intelktual, bukan dengan menolak ilmu modern, tapi mengubah komitmen ilmu pada masyarakat konkret. Basis teologi historis komitmen profetisme intelektual Muslim ialah kesediaan Nabi Muhammad kembali ke realitas masyarakat konkret setelah ia mencapai puncak eksistensi dalam peristiwa Isra Mikraj.”
Lain perkataan, intelektual yang berterlibat dan bermatlamat kukuh dalam: (a) mengkedepankan kepedulian dam kesadaran untuk masyarakat atau umat terbanyak tanpa ragu dan tangguh ; (b) memberikan kepimpinan, yakni masuk dalam medan pertarungan ideologi dalam masyarakat sehingga (c) menyerukan keberpihakan, tanpa ada pretensi untuk berkecuali atau berada di atas pagar ; (d) menjaminkan kemaslahatan ; (e) memandang ke depan dala pembinaan umat dan peradaban.
Rausyanfikir Masuk Gelanggang
Intelektual profetik ini lain perkataan, adalah terangkum dengan istilah rausyanfikir ( yakni pemikir yang tercerah )
Shariati sedari awal telah mengkedepankan ini:
“Rausyanfikr adalah orang yang sadar akan keadaan manusia (human condition) dimasanya,serta setting kesejahteraannya dan kemasyarakatannya… yang menerima rasa tanggung jawab sosial. Ia tidak harus berasal dari kalangan terpelajar maupun intelektual. Mereka adalah para pelopor dalam revolusi dan gerakan ilmiah. Dalam zaman modern maupun berkembang, rausyanfikr mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kesadaran untuk memberi arahan intelektual dan sosial kepada massa atau rakyat. Rausyanfikr dicontohi oleh agama-agama besar (para Nabi), yaitu pemimpin yang mendorong terwujudnya pembenahan-pembenahan struktural yang mendasar dimasa lampau. Meraka sering muncul dari kalangan rakyat jelata yang mempunyai kecakapan berkomunikasi dengan rakyat untuk menciptakan semboyan-semboyan baru, memulai gerakan baru, memproyeksikan pandangan baru, memulai gerakan baru, dan melahirkan energi baru ke dalam jantung kesadaran masyarakat. Gerakan mereka adalah gerakan revolusioner mendobrak, tetapi konstruktif.”
Intelektual yang profetik itu tentunya memiliki tugas besar dalam memimpin masyarakatnya.
Anugerah ilmunya bukan suatu privilege, melainkan suatu amanah untuk merungkai dan memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat dan kemanusiaan sejagat:
“tanggungjawab paling besar orang-orang yang tercerahkan adalah menentukan sebab-sebab yang sesungguhnya dari keterbelakangan masyarakatnya dan menemukan penyebab sebenarnya dari kemandekan dan kebobokan rakyat dari lingkungannya. Lebih-lebih ia harus mendidik masyarakatnya yang bodoh dan masih tertidur, mengenai alasan-alasan dasar bagi nasib sosiohistoris yang tragis. Lalu, dengan bepijak dengan sumber-sumber, tanggungjawab, keperluan-keperluan dan penderitaan masyarakatnya, ia harus menentukan pemecahan-pemecahan rasional yang memungkinkan pemanfaatan yang tepat atas sumber-sumber daya terpendam di dalam masyarakatnya dan diagnosis yang tepat pula atas penderitaan masyarakat itu. Orang tercerahkan harus berusaha untuk menemukan hubungan sebab akibat sesungguhnya antara kesengsaraan, penyakit sosial, dan kelainan-kelainan serta berbagai faktor internal dan eksternal. Akhirnya, orang yang tercerahkan harus mengalihkan pemahaman di luar kelompok teman-temannya yang terbatas ini kepada masyarakat secara keseluruhan.”
Nabi Besar kita dalam hayatnya memperlihatkan kemuliaan yang terpuji dari seluruh aspek kehidupan.
Teladan utama dari Nabi pastilah berani berdiri untuk kebenaran, memperjuangkan dan menjulang yang adil dan sempurna, dan menolak yang zalim dan durjana.
Kelahiran, kehidupan dan keteladanan dari junjungan Nabi Jungjan sesungguhnya Rahmat kepada kemanusiaan sarwa sekalian Nabi
Di kesempatan menyambut Maulid Nabi yang bemula 12 Rabi’ al-Awwal, sama-samalah kita renungan kemuliaan Nabi yang wajar menjadi hiasan peribadi kita.